Pak Jokowi, Lindungi Anak-anak Ini....
BANDUNG, Kompas.com - Para atlet renang muda Jakarta bukan hanya mengalami beban kota besar, namun juga kurang mendapat perlindungan.
Akhir Desember selalu menjadi puncak kompetisi renang Indoensia dengan digelarnya Kejuaraan Renang Antarperkumpulan se Indonesia (KRAPSI). Ajang ini mempertemukan atlet-atlet renang terbaik perkumpulan renang se Indonesia.
Tahun ini, KRAPSI diadakan di Kolam Renang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung 27-30 Desember 2012. Bagi PRSI Jawa Barat, ajang ini sekaligus juga menjadi uji coba karena mereka akan menjadi tuan rumah Pekan Olah Raga Nasional (PON) 2016 mendatang.
Tidak tanggung-tanggung, panitia pelaksana menjanjikan mesin pemanas kolam untuk mencapai suhu air sesuai standar Federasi Renang Internasional yaitu 25 derajat celcius. Panitia juga menjanjikan akan menggunakan alat penghitung elektronik untuk menghindarkan kontroversi selisih waktu.
Ajang KRAPSI memang ajang penting buat penentuan peringkat atlet renang, baik secara nasional mau pun provinsi. Baik buruknya hasil di KRAPSI dapat menentukan seorang perenang terpental dari persaingan.
Hal serupa dirasakan pula para perenang asal provinsi DKI Jakarta. Usai PON XVIII/Riau, September lalu, atlet renang DKI "dicekam" dengan isu masuknya atlet-atlet renang asal provinsi luar. Mereka mengincar posisi masuk dalam pelatda DKI dan berkesempatan membela provinsi tersebut di ajang-ajang kompetisi nasional.
Ajang kejuaraan renang antar perkumpulan daerah (KRAPDA) DKI, awal Desember lalu menimbulkan fenomena yang mengkhawatirkan atlet, pelatih mau pun orang tua. Atlet-atlet renang asal provinsi lain ikut berlomba tanpa mengikuti prosedur atau tata cara kepindahan yang ada.
Fenomena atau kejanggalan itu antara lain berupa perubahan identitas atlet yang berbeda dengan provinsi asalnya. Seperti yang dilakukan oleh atlet renang Eliza Delanira yang berasal dari Bandung, Jawa Barat. Dalam KRAPDA DKI lalu, ia turun atas nama Delanira E atas nama sebuah perkumpulan renang Jakarta.
Padahal penentuan perpindahan atlet cukup jelas. Tiga bulan untuk perpindahan antarklub dalam provinsi dan tiga bulan untuk antarklub antarprovinsi.
Penentuan waktu perpindahan ini diditentukan untuk menghargai keberadaan perkumpulan renang sebagai institusi pembina. Adanya waktu 3 hingga 6 bulan ini juga untuk menghindari fenomena "kutu loncat" ketika para perenang berpindah-pindah klub dalam waktu singkat.
Dalam beberapa kasus, pengubahan identitas atlet untuk jangka panjang justru merugikan si atlet. Seperti kasus yang menimpa Bayu Fiendra, 14, atlet layar asal Batam, Kepulauan Riau yang membela DKI Jakarta di PON XVIII/Riau lalu.
Selama PON, Bayu bertanding dengan menggunakan nama Prastio Bayu Nugroho dan meraih medali perunggu sekaligus berhak atas bonus Rp35 juta. Namun di piagam penghargaan PON tertulis nama aslinya, Bayu Fiendra, sesuai nama yang ia sebut ketika ditanya oleh panitia pelaksana PON. Akibat perbedaan nama ini, administrasi pemberian bonus jadi terhambat. (Kompas, Minggu, 9 Desember).
Ketidakjelasan inilah yang dihadapi para atlet renang DKI saat ini. Mungkin memang perlu campur tangan Pak Gubernur untuk memperjelas hal ini. Untuk masa depan mereka. Dalam hal disiplin, para atlet muda ini jelas lebih baik dari oknum aparat pemerintah. Mereka memulai aktivitas keseharian mereka dengan berlatih renang pukul 04.30 sebelum menghadapi macet dan beban sekolah, tanpa terlembat pula. Sementara pada awal pelantikannya sebagai Gubernur DKI, pak Jokowi kerap menemukan anak buahnya yang belum datang ke kantor pada pukul 08.00 pagi.
Editor :
A. Tjahjo Sasongko
Anda sedang membaca artikel tentang
Pak Jokowi, Lindungi Anak-anak Ini....
Dengan url
http://benefitsofbeans.blogspot.com/2012/12/pak-jokowi-lindungi-anak-anak-ini.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Pak Jokowi, Lindungi Anak-anak Ini....
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Pak Jokowi, Lindungi Anak-anak Ini....
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar