JAKARTA, KOMPAS.com - Berjuang meski dalam keterbatasan. Itu yang dilakukan Sena Rusli, salah satu siswa kelas XII jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) SMAN 66 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Keterbatasan fisik karena tidak bisa melihat atau yang biasa disebut tuna netra tidak menyulutkan niatnya untuk segera menyelesaikan pendidikan menengahnya melalui Ujian Nasional (UN).
Sena menjadi salah satu dari dua murid SMAN 66 yang mengikuti UN mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dilakukan pada Senin (15/4/2013) pagi ini. Salah satu siswa tuna netra lain di sekolah itu yakni Arina Fitri Mahsha yang juga jurusan IPS.
Pagi ini, pada ruangan khusus lantai 3 SMAN 66, Sena menghadapi ujian penentuan untuk bisa lulus dari bangku SMA menuju perguruan tinggi. Ditemani dua pengawas, remaja itu mengerjakan soal UN dalam ruangan khusus yang dipisah dari teman lainnya itu.
"Tadi optimis, saya rileks-rileks saja. Kalau terlalu dibawa tegang, takut malah tidak bisa (mengerjakan)," ujar Sena, saat ditemui usai mengikuti UN disekolah itu, Senin pagi.
Dia mengaku, sudah melakukan persiapan sejak jauh hari untuk menghadapi UN. Saat mengerjakan ujian, Sena mengatakan seorang pengawas bertugas membacakan soal sementara satu pengawas lainnya menulis jawaban yang dipilihnya. Dia bertutur bahwa dirinya memilih jawaban pada soal braille sebagai bukti otentiknya.
Semangatnya mengenyam pendidikan patut diapresiasi. Harapannya menyelesaikan pendidikan dengan kondisinya seperti itu tidak membuatnya mudur. Namun demikian, Sena mengaku juga sempat menghadapi kesulitan dalam menghadapi materi pelajaran visual yang mengandalkan penglihatan.
"Kadang-kadang saya tidak bisa mengikuti apa yang teman lain lakuin. Seperti olah raga, dan event tertentu yang mengandalkan penglihatan, saya tidak bisa," katanya.
Lanjut ke perguruan tinggi
Setiap hari, Sena harus berangkat pagi-pagi menuju sekolahnya yang berlokasi di jalan Bango III Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Pasalnya, dia tinggal di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Sena mengaku berangkat bersama sang ayah.
"Berangkat kadang jam lima seperempat, atau jam setengah enam," ujar Sena.
Sena berharap bisa melewati UN dengan baik sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sebuah perguruan tinggi negeri menjadi cita-citanya kelak untuk menjadi seorang jurnalis.
"Pengen kuliah di UI, mau ambil komunikasi, kalau cita-cita, pengen jadi seperti yang wawancara saya," ungkapnya diiringi tawa.
Dengan bersekolah, dia ingin masyarakat memiliki pandangan dan sikap lebih menghargai kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik sepertinya. Baginya, keterbatasannya itu bukan menjadi suatu penghalang menempuh pendidikan.
"Yang terpenting buat saya, paling tidak masyarakat di luar sana itu memandang kami yang memiliki kekurangan fungsi fisik, bisa sama seperti mereka. Kami di sini bisa sekolah," kata Sena, sambil berjalan dengan sebuah tongkat penuntun yang selalui dibawanya.
Sementara itu, rekannya, Arina Fitri Mahsha, yang juga tuna netra mengaku sedikit tegang menghadapi soal kali ini. Namun demikian, Arina cukup puas dengan pekerjaannya.
"Tegang, lumayan, enggak susah banget soal Bahasa Indonesia-nya," kata Arina.
Arina berharap hasil UN yang diperolehnya baik sehingga dia memiliki kesempatan untuk meraih cita-citanya ke depan. Dia ingin memiliki profesi sebagai penerjemah bahasa Inggris nantinya.
"Pengen lanjut ke UI, ambil jurusan Sastra Inggris. Suka bahasa Inggris karena cita-citanya jadi penerjemah," ujar Arina.
Tidak diperlakukan khusus
Kepala Sekolah SMAN 66, Suhari menuturkan tidak ada perlakuan khusus bagi dua siswanya yang mengikuti UN tahun ini. Meski demikian, cara menempuh ujiannya yang disesuaikan dengan kondisi keduanya.
"Sama seperti biasa, belajarnya sama. Hasilnya juga sama. Jadi enggak ada keistimewaan," katanya.
Seorang guru Matematika di sekolah itu, Wiji, menuturkan, pelajar seperti Sena dan Ariana menjalankan tugas-tugas sekolah menggunakan laptop yang dibawa keduanya. Dengan bantuan sebuah software komputer bernama JOSS, huruf yang ingin ditekan pada keyboard laptop akan bisa terhubung ditelinga dan dapat didengar sesuai dengan huruf apa yang akan diketik.
"Tugas mereka dikumpulkan dalam bentuk soft copy, baik tugas rumah atau tugas sekolah. Di sini juga ada tenaga khusus, yang datang dua kali seminggu," tambahnya,
Editor :
Caroline Damanik
Anda sedang membaca artikel tentang
Tak Bisa Melihat Bukan Halangan untuk Ikuti UN
Dengan url
http://benefitsofbeans.blogspot.com/2013/04/tak-bisa-melihat-bukan-halangan-untuk.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Tak Bisa Melihat Bukan Halangan untuk Ikuti UN
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Tak Bisa Melihat Bukan Halangan untuk Ikuti UN
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar