Pembunuh Nomor Satu Itu...
Oleh Dewanto Samodro
Hidup dan mati adalah rahasia Illahi. Setiap hari, bayi-bayi lahir tetapi di sisi lain ratusan bahkan ribuan orang juga meninggal karena berbagai sebab di Indonesia.
Terlepas dari kodrat Illahi bahwa semua orang akan mati, semua orang berhak untuk mendapat kualitas hidup dan kesehatan yang terbaik. Namun, meskipun peningkatan kualitas hidup dan kesehatan adalah hak manusia, masih ada saja yang merusak tubuh sendiri dengan berbagai zat adiktif.
Banyak zat adiktif yang dekat dengan kehidupan manusia. Salah satu zat adiktif yang dekat dengan manusia dan bisa diperdagangkan secara bebas tanpa aturan apa pun adalah kopi yang mengandung kafein.
Beberapa zat adiktif juga dimanfaatkan dalam dunia kedokteran, sehingga tidak bisa diperdagangkan secara bebas, yaitu heroin dan morfin. Perdagangan heroin dan morfin di luar dunia kedokteran adalah ilegal.
Yang menarik adalah rokok yang mengandung nikotin dan minuman keras yang mengandung alkohol. Kedua zat adiktif itu legal untuk diperdagangkan, tetapi peredarannya diatur menggunakan cukai.
Raja Zat Adiktif
Aktivis Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dr Hakim Sorimuda Pohan mengatakan nikotin merupakan "raja" di antara zat adiktif lainnya seperti kopi, ganja, alkohol, heroin dan morfin.
"Dari banyak zat adiktif yang paling ringan adalah kopi, kemudian mariyuana, alkohol, heroin dan morfin. Tapi karena rokok yang mengandung nikotin, seseorang bisa terjebak dengan zat adiktif lainnya," katanya.
Mantan anggota Komisi IX DPR itu mengatakan zat adiktif adalah zat yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan. Bila sudah kecanduan, penggunaan zat adiktif itu akan menyebabkan seseorang uring-uringan atau sakau.
Hal itu pun terjadi pada pecandu kopi. Bila sehari saja dia tidak meminum kopi yang mengandung kafein, maka pecandu kopi itu akan uring-uringan atau sakau dalam skala ringan. Semakin tinggi tingkatan zat adiktifnya, maka tingkat sakau dan uring-uringannya juga semakin tinggi.
"Masalahnya, perokok seringkali merasa tidak lengkap kalau tidak merokok dengan ditemani kopi. Kalau sudah begitu, maka kecanduannya semakin banyak," tuturnya.
Dari kecanduan merokok pula, seseorang bisa mengenal ganja, kemudian mengonsumsi alkohol, heroin dan morfin. Namun, orang seringkali lupa bahwa rokok, yang mengandung 4.000 bahan kimia dan 69 diantaranya adalah zat karsinogenik yang mengakibatkan kanker, adalah candu yang paling kuat.
Penyebab Kematian Terbesar
Rokok merupakan penyebab kematian terbesar di dunia yang dapat dicegah. Satu dari 10 kematian orang dewasa disebabkan konsumsi rokok. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2004, tiap tahun 5,4 juta orang meninggal karena rokok atau rata-rata satu kematian setiap 5,8 detik.
Menurut buku "Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia Tahun 2012" yang diterbitkan "Tobacco Control Support Center"-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 6 juta orang di dunia meninggal (termasuk 190.260 orang di Indonesia) akibat penyakit terkait tembakau.
Umumnya penyakit yang terkait dengan tembakau memerlukan waktu bertahun-tahun untuk timbul setelah perilaku merokok dimulai, sehingga epidemi penyakit terkait tembakau dan jumlah kematian di masa mendatang akan terus meningkat.
Tembakau dapat menyebabkan berbagai penyakit khususnya kanker paru, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung koroner dan gangguan pembuluh darah.
Selain itu, tembakau juga menyebabkan penurunan kesuburan, peningkatan insiden hamil diluar kandungan, gangguan pertumbuhan janin (fisik dan IQ), kejang pada kehamilan, gangguan imunitas bayi dan peningkatan kematian perinatal.
Meskipun berbagai kampanye pengendalian tembakau sudah dilakukan, termasuk mengempanyekan bahaya rokok dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh rokok, tetapi masih sedikit orang yang akhirnya berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Hal itu, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, disebabkan zat adiktif nikotin yang terkandung dalam tembakau.
Berhenti Karena Kanker
Ahli bedah kanker kepala dan leher Rumah Sakit Tata Memorial, Mumbai, India Prof dr Pankaj Chaturvedi mengatakan upaya paling efektif untuk memaksa seseorang berhenti merokok adalah bila sudah terkena penyakit kanker.
"Sebagai dokter, saya bisa menyembuhkan kanker. Namun, saya tidak bisa menyembuhkan ketergantungan seseorang terhadap rokok. Biasanya orang berhenti merokok kalau sudah terkena kanker," katanya.
Pankaj mengatakan Indonesia memiliki data yang sangat mengejutkan, yaitu terdapat 61,4 juta atau 36,1 persen penduduk Indonesia yang menjadi perokok aktif.
Dengan tingginya angka perokok aktif itu, diperkirakan 20 juta orang akan meninggal lebih cepat akibat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh tembakau yaitu kanker, serangan jantung, penyakit paru-paru, stroke dan lain-lain.
"Namun, lupakan dulu angka 2 juta itu. Mari berhitung saja berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk orang-orang yang sakit karena merokok. Kalau saja biaya pengobatan kanker Rp100 ribu, berapa beban keuangan yang akan ditanggung," tuturnya.
Karena itu, Pankaj menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk mulai mengampanyekan pengendalian tembakau. Masalahnya, kata dia, kampanye industri rokok seringkali memiliki cara-cara strategis yang tidak dimiliki kampanye pengendalian tembakau.
Menurut Pankaj, masyarakat perlu mewaspadai dan bersikap kritis terhadap kampanye yang dilakukan industri rokok. Misalnya, industri rokok sering mengampanyekan masih ada orang yang berusia hingga 100 tahun meskipun aktif merokok.
"Namun, yang tidak mereka katakan bahwa di balik satu orang yang hidup hingga 100 tahun itu, masih ada 10 orang perokok yang meninggal di usia 40 tahun," ujarnya.
Melihat tingginya angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok, kata Pankaj, maka tidak salah bila industri rokok disebut sebagai industri pembunuh.
"Karena dua pertiga perokok adalah laki-laki, maka bisa juga disebut bahwa industri rokok adalah industri janda dan industri anak yatim," ujarnya.
Orang Terkaya
Industri rokok memberikan kontribusi bagi ekonomi Indonesia dalam menempatkan industriwannya dalam daftar orang terkaya. Selama bertahun-tahun, industriwan rokok selalu menempati posisi teratas dalam daftar orang terkaya.
Meskipun memberikan kontribusi untuk menempatkan industriwannya dalam daftar orang terkaya, tetapi hal itu tidak berimplikasi pada kesejahteraan petani tembakau.
Menurut buku "Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia Tahun 2012", harga riil daun tembakau mengalami peningkatan hingga tujuh kali lipat dari Rp 1.016 per kg pada tahun 1996 menjadi Rp 7.580 per kg pada tahun 2006.
Namun, hal ini tidak berimplikasi pada kesejahteraan petani. Hal ini karena harga daun tembakau ditentukan oleh berbagai faktor seperti kualitas daun, jenis tembakau, dan persediaan daun tembakau di pabrik rokok.
Dari semua faktor tersebut, faktor yang paling menentukan adalah para "grader". Grade (kualitas) harga daun tembakau ditentukan secara sepihak. Petani tidak pernah tahu bagaimana "grader" menentukan harga daun tembakau, sehingga posisi tawar petani berada pada posisi yang lemah.
Harga tembakau berlapis-lapis tergantung dari kualitas daun, bahkan ada yang sampai 40 tingkatan mulai dari harga Rp 500 hingga Rp 25 ribu per kg, tergantung penilaian "grader"-nya.
Namun, kesejahteraan petani selalu menjadi dalih bagi kelompok kontrapengendalian tembakau yang selalu menyatakan bahwa pengendalian tembakau akan mematikan "dapur" para petani tembakau.
Padahal, monopoli industri rokok terhadap tanaman tembakau telah membuat petani tidak bisa bebas menjual tembakaunya. Selain harga sudah ditentukan oleh "grader", biasanya petani juga dilarang menjual tembakaunya kepada pihak lain selain industri rokok.
Hal itu tentu sangat berbeda bila petani, misalnya menanam jagung atau singkong. Selain bisa dijual ke industri maizena atau tapioka, jagung dan singkong juga bisa dijual ke pasar bebas. Petani pun memiliki nilai tawar lebih kuat.
Karena itu, bila melihat mudharat yang lebih banyak pada rokok, yaitu menyebabkan penyakit-penyakit pembunuh teratas, maka tidaklah salah judul tulisan ini. Orang terkaya, yaitu industriwan tembakau dan rokok, adalah pembunuh nomor satu.
Pelan namun pasti, para industriwan rokok itu akan membunuh ratusan ribu orang di Indonesia melalui penyakit-penyakit yang disebabkan oleh produk yang mereka jual. Satu hal yang ingin penulis tanyakan kepada industriwan rokok, akankah mereka merasa berdosa?
Tidak perlu ditanyakan apakah Presiden Direktur PT Sido Muncul Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Nyonya Meneer, Charles Saerang, atau Presiden Komisaris Jamu Jago Grup, Jaya Suprana, juga meminum jamu produksi mereka atau tidak. Setidaknya, produk mereka menyehatkan.
Pertanyaan saat ini, apakah industriwan rokok juga termasuk perokok yang berisiko terkena penyakit-penyakit pembunuh nomor satu? Jangan-jangan, karena paham bahwa rokok berisiko menyebabkan kanker, mereka tidak merokok.
Kalau industriwan rokok saja tidak mau merokok demi kesehatan mereka, mengapa kita masih merokok?